
Air susu ibu (ASI) merupakan nutrisi utama yang diberikan pada bayi, baik bayi cukup bulan maupun bayi prematur. Bila ASI tidak dapat diberikan secara langsung maka rekomendasi selanjutnya adalah dengan pemberian ASI donor. Berdasarkan rekomendasi WHO, ASI donor merupakan alternatif bagi bayi prematur dengan suplai ASI yang tidak cukup dari ibu. ASI donor terbukti menurunkan risiko penyakit pencernaan, enterokolitis nekrotikans. ASI donor juga dapat meningkatkan toleransi minum pada bayi prematur secara lebih baik dibanding susu formula. Namun, pemberian ASI donor dilaporkan dapat meningkatkan risiko transmisi infeksi. Risiko ini dapat dikurangi melalui pengelolaan ASI donor, diantaranya screening donor ASI dan pasteurisasi.
Setiap ibu yang akan mendonorkan ASI-nya, harus memahami beberapa syarat pendonor ASI sebagai berikut:
- Memiliki bayi berusia kurang dari 6 bulan dengan pertumbuhan dan perkembangan yang baik.
- Sehat dan tidak mempunyai kontra-indikasi menyusui.
- Produksi ASI sudah mencukupi kebutuhan bayinya dan mendonorkan ASI atas dasar produksi yang berlebih.
- Tidak menerima transfusi darah atau transplantasi organ/jaringan dalam 12 bulan terakhir.
- Tidak mengonsumsi obat/hormon/produk yang mempengaruhi bayi.
- Tidak ada riwayat penyakit menular pada ibu maupun suami.
- Tidak memiliki pasangan seksual yang berisiko terinfeksi penyakit menular, menggunakan narkoba, perokok, atau peminum alkohol.
- Harus menjalani screening yang meliputi tes HIV, human T-lymphotropic virus (HTLV), sifilis, hepatitis B, hepatitis C, dan sitomegalovirus, yang dapat dilakukan setiap 3 bulan.
Perlu dipahami, setiap ibu pendonor harus berhenti mendonorkan ASI-nya apabila:
- Jumlah ASI terlalu sedikit (<60 ml/hari selama 1 minggu).
- Ibu atau bayi dari ibu pendonor ASI mengalami penyakit yang berkaitan dengan demam (termasuk jika terpapar dengan demam disertai ruam pada anggota keluarga yang lain), gastroenteritis (infeksi usus), atau penyakit kulit.
- Ibu mengalami mastitis (radang payudara), memperoleh vaksinasi virus hidup dalam kurun waktu 4 minggu atau obat-obatan tertentu.
Namun, berbeda dengan ASI perah yang dapat diberikan langsung kepada bayi, ASI donor harus melalui proses pasteurisasi sebelum diberikan kepada bayi. Setelah syarat donor ASI terpenuhi, tahap penapisan risiko infeksi berikutnya adalah pasteurisasi ASI donor. Pasteurisasi bertujuan sebagai metode penapisan guna mencegah transmisi bakteri dan virus tertentu (termasuk HIV), meskipun ibu pendonor telah dipastikan sehat melalui screening untuk memberikan ASI donor. Pasteurisasi diharapkan menurunkan risiko penularan infeksi bakteri atau virus tertentu tanpa merusak komponen nutrisi dan zat kekebalan tubuh dalam ASI. Pasteurisasi juga dianjurkan apabila ASI berasal dari ibu yang mengalami peradangan payudara (mastitis) dan luka atau perdarahan puting.
Di Indonesia sendiri sudah ada peraturan tentang donor ASI, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. Isinya menyatakan:
Pemberian ASI eksklusif oleh pendonor ASI dilakukan dengan persyaratan:
- Adanya permintaan ibu kandung atau keluarga bayi yang bersangkutan.
- Kejelasan identitas, agama, dan alamat pendonor ASI diketahui dengan jelas oleh ibu atau keluarga dari bayi penerima ASI.
- Adanya persetujuan pendonor ASI setelah mengetahui identitas bayi yang diberi ASI.
- Pendonor ASI dalam kondisi kesehatan baik dan tidak memiliki kondisi medis yang membuatnya tidak boleh memberikan ASI, termasuk menderita penyakit yang dapat menular lewat ASI.
- ASI tidak diperjual belikan.
Selain itu, pemberian ASI juga wajib dilaksanakan berdasarkan norma agama dan mempertimbangkan aspek sosial budaya, mutu, dan keamanan ASI. Apabila berniat memberikan ASI donor kepada bayi Anda, akan lebih mudah jika Anda bergabung dengan komunitas-komunitas pemerhati donor ASI, untuk mendapatkan informasi yang bermanfaat.
Referensi:
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. ASI Donor. 2015. Diunduh dari: http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/donor-asi
2. Arslanoglu S. et al. Donor Human Milk for Preterm Infants: Current Evidence and Research Directions. JPGN.2013. 57:535-42


